Tulisan ini merupakan tulisan singkat dari apa yang terlihat oleh saya dan teman-teman ketika menyusuri kampung kamboja di tahun 2018. Di akhir tulisan tidak akan ada kesimpulan, jadi sangat dipersilahkan untuk berkomentar ataupun membuat kesimpulan. Selamat membaca :).
Menyusuri tepian Sungai Kapuas, maka akan kota dapati bahwa Kota Pontianak sedang berbenah, berdandan memoles wajah tepian sungai agar lebih cantik mewujudkan waterfront city, seperti yang tertulis dalam visi-misi Kota Pontianak. Namun apakah definisi cantik sebenarnya?. Apakah hanya imitasi seperti dalam kebanyakan tutorial make up ataukah cantik sebenarnya yang konon katanya cantik yang tidak dilihat hanya dari fisik semata dan cantik inilah yang katanya pula akan bertahan lebih lama. Tepian Sungai Kapuas merupakan saksi lahirnya peradaban Kota Pontianak, disepanjangnya kampung-kampung kota yang merupakan bagian dari sejarah terbentuk secara spontan karena sistem dendritik [1].
Menyusuri Kampung Kamboja saat ini, mengingatkan pada labirin Alice in Wonderland, akan kita temui gang-gang yang saling berhubung satu sama lain dan akan kita temui “sesuatu” yang membuat kita tergelitik ingin tahu. Namun tentu saja sulit untuk mendapati tempat-tempat indah yang jauh dari sampah, ditumbuhi bunga-bunga indah merekah dengan harum yang memanjakan hidung.
Di Kampung Kamboja hanya ada gang-gang dengan ukuran bervariasi: 5 meter untuk jalan masuk gang yang berdiri diatas tanah berawa dan 1,5 – 2 meter di atas air, warga menyebutnya gertak. Di kanan kirinya berderet rumah satu hingga 2 lantai dengan warna yang tak beraturan, ada yang terlihat baru di cat, ada pula yang kusam; ada yang berdinding papan, simpai dan ada pula dinding batako. Rumah-rumah tersebut berdiri kokoh dan ada pula yang ringkih, mereka berdiri di atas tiang-tiang tongkat dan tiang pancang berlantai panggung sebagai respon terhadap air pasang, seolah mengambang di atas air. Di tepi-tepi jalan akan kita dapati air sungai dengan aroma asyik yang menusuk hidung karena limbah dan sampah yang entah dari mana saja, seolah menjadi TPS raksasa.
Di sore hari akan kita temui warga setempat mulai luber ke luar rumah. Ibu-ibu duduk di depan rumah sambil becakap, menggendong dan menyuapi anak, sert ada pula yang duduk di warung sambil menyantap makanan kebangsaan, seperti indomie telor, mie tiau, mie sagu dan bubur dan chiki-chiki bermicin yang sedap (dengan menulisnya saja membuat air liur ingin jatuh wkwk). Kadang berpapasan dengan warga luar kampung yang berkunjung untuk menikmati tepian Sungai Kapuas, menyusuri jalan beton baru yang belum rampung dan terletak lebih tinggi dari rumah yang ada sekarang. Ntah apa pula maksudnya, menggelitik untuk ingin tahu bukan?. Tak jelas mana yang menjadi isi dan mana yang menjadi kulit, dan sekaligus menjadi wajah karena apa yang akan tertangkap mata pertama kali?
Pada waktu yang sama ada pula yang duduk-duduk sembari memancing. Masih kita dapati anak-anak kecil berlarian, bermain di jalan-jalan gang, di tepian sungai. Jauh dari gadget, meskipun ada satu dua orang namun tetap jauh dari suasana asyik sendiri, akan kita dapati anak-anak heboh bermain layang-layang, bermain kejar benteng dan berbagai permainan yang tentunya menghidupkan imaginasi dan psikomotorik yang dibutuhkan anak-anak. Di sungai ada ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak berkumpul, ada yang mandi, mencuci, mengobrol dan ada pula yang menyantap makanannya. Jalan gang, jalan tepian sungai dan sungai menjadi ruang publik yang hidup.
Di gang-gang akan ditemui rumah melayu limasan, berbentuk besar dan tinggi diduga sudah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Rumah-rumah tersebut ada yang terawat dengan berbagai modifikasi dan ada pula yang tak terawat; Disana masih bisa kita temui pengrajin sampan dan speed. Sampan dan speed masih digunakan warga untuk transportasi mengantarkan mereka ke seberang kampung, ke tempat-tempat lainnya dan alat penting warga untuk mencari penghidupan.
Hampir senja mendekati magrib, beberapa bapak-bapak tua dan pria paruh baya sibuk membersihkan langgar. Diluar dan teras langgar, anak-anak dan remaja bersiap untuk sholat. Sembari menunggu, dengan atribut sholat yang hampir lengkap anak-anak masih asyik bermain hingga ketika adzan berkumandang mereka berbondong-bondong menuju langgar. Begitu syahdu, sibuk namun tak lupa kewajiban.
Ketika malam hari tiba, warga mulai kembali ke rumah masing-masing, jalan gang yang semula ramai mulai sepi, namun tak benar-benar sepi karena masih ada anak-anak yang bermain diluar ketika hari libur, ada pula yang duduk-duduk di tepian sungai menikmati ombak tenang sungai, ada pula yang memancing dan aktivitas cafe yang ramai dengan orang luar.
[1] Dendritik adalah sistem permukiman yang memanfaatkan perdagangaan dari hulu ke hilir. Pusat perdagangaan berada pada bagian hilir dan komoditi diperoleh dari komunitas permukiman di pedalaman (Bronson, Benner. 1977. Exchange at The Upstream and Downstream Ends: Notes Toward a Functional Model of The Coastal State in Southest Asias. Michigan Papers on South and Southeast Asia. The University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies. United States, p: 42-43).
Comentários