Menjadi kota tepian sungai bukanlah sebuah utopia, karena karakteristik geografis Indonesia dengan dua pertiga bagiannya merupakan perairan dengan panjang garis pantai mencapai ± 81.000 km dan sekitar 70% kotanya terletak di wilayah tepian air (Hermawan, 2015). Dalam PP No. 47 tahun 1992 tentang Rencanan Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan terdapat 516 kota andalan dengan 216 kota merupakan kota tepi air yang berada di tepi laut, sungai dan danau. Keberadaannya dalam suatu kawasan menghadirkan karakteristik fisik wilayah yang berbeda, menjadikannya sebagai batas (edge) suatu kawasan (Lynch, 1960).
Tepian air menjadi titik awal perkembangan permukiman karena air menjadi sumber kehidupan, mata pencaharian, serta sebagai jalur tranportasi. Kemudian permukiman tersebut berkembang menjadi sebuah kota sejalan dengan meningkatnya aktivitas penduduk. Saat ini banyaknya program redevelopment kota-kota tepian air menjadi tantangan tersendiri terhadap kebertahanan identitas sebuah kota. Kenyataan yang terjadi pembangunan dan peningkatan infrastruktur kawasan tepian sungai belum dapat mengakomodir potensi dan citra kota nya dengan baik. Salah satunya yang terjadi di Kota Pontianak, kota yang juga tumbuh dari keberadaan sungai.
Jika menyusuri tepian Sungai Kapuas saat ini, maka kita dapat melihat bahwa Kota Pontianak sedang berbenah, memoles wajah tepian sungai, mewujudkan waterfront city, seperti yang tertulis dalam visi-misi Kota Pontianak (Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pontianak, 2013-2033; Rencana Program Jangka Menengah Nasional, 2015-2019).
Tepian Sungai Kapuas merupakan saksi lahirnya peradaban Kota Pontianak, disepanjangnya kampung-kampung kota yang merupakan bagian dari sejarah terbentuk secara spontan karena sistem dendritik [1]. Menyusuri perkampungan tepian sungai di Kota Pontianak akan kita dapati jembatan khas tepian sungai yang berdiri diatas tanah berawa ataupun di atas air selebar 1,5 - 2,5 meter, warga menyebutnya gertak atau geretak karena suara gemeretak yang ditimbulkan jika lewat diatasnya.
Dahulu gertak berdiri di atas tiang-tiang tongkat berbahan kayu sebagai respon terhadap air pasang, membuat jalan seolah mengambang di atas air. Gertak dibuat lebih tinggi dari sisi tepinya agar sampan-sampan dapat lewat di bawahnya. Gertak dahulu dibuat tanpa adanya pagar pembatas sehingga interaksi antara manusia dan sungai begitu dekat, hal ini dapat terlihat dari adanya tangga-tangga di tepian sungai yang bukan hanya digunakan untuk tambatan sampan, aktivitas mandi, mencuci, namun juga sebagai tempat duduk-duduk warga. Di samping interaksi manusia dan sungai terlihat dari adaptasi warga dengan sungai, yang mana anak-anak sudah diajarkan sedari dini berenang disungai untuk menjaga keselamatan mereka ketika bermain di sungai. Gertak telah menjadi salah satu ruang publik yang bukan hanya berfungsi sebagai jalur transportasi untuk menghubungkan antar rumah-rumah dan sekitarnya, tapi juga sebagai tempat bermain, tempat berkumpul warga dan aktifitas lainnya.
Gertak Saat ini
Saat ini gertak kayu sudah banyak yang rusak dimakan waktu, kayu-kayu yang keropos, berlubang dan reot cukup membahayakan bagi pengguna yang melintasinya. Usaha renovasi gertak dengan menggunakan material kayu saat ini sudah cukup sulit mengingat ketersediaan bahan baku yang "katanya" semakin menipis. Hingga pada tahun 2005 melalui program peremajaan kampung dan pada tahun 2016 melalui program waterfront city, gertak dibeberapa kampung berubah menjadi cor beton; gertak yang dulu terdapat kolong dibawahnya untuk lalu lintas sampan kini telah ditutup menggunakan turap di beberapa lokasi; saat ini pembangunan promenade tepian sungai di Kampung Kamboja menghalangi hampir seluruh bangunan di belakangnya.
Hingga muncul pertanyaannya, sejauh mana pembangunan tersebut dapat mengakomodir potensi dan citra kota dengan baik seperti yang tertuang dalam artikel BAPPEDA Kota Pontianak bahwa pembangunan waterfront di Kota Pontianak tetap berpegang teguh pada kearifan lokal ?
Dari pengalaman saya dan teman-teman yang cukup sering menyusuri jalan tepian sungai, ada dampak positif dari program pembangunan waterfront tersebut yaitu meningkatnya perekonomian warga, karena semakin banyak pengunjung dari luar kampung untuk berwisata di tepi sungai, kondisi tersebut menjadi generator meningkatnya jumlah warung ataupun cafe di tepian sungai, lahan parkir, serta penyewaan kano dan sampan. Tepian sungai tetap menjadi ruang sosial yang hidup. Di samping itu harus pula saya akui bahwa pembangunan tersebut dapat mengubah stigma negatif menjadi positif pada beberapa kampung.
Namun, jika melihat secara fisik terkait pembangunan promenade beton yang menggantikan gertak kayu dengan pagar di salah satu sisinya. Cukup menyenangkan melihat berbagai respon masyarakat terhadap desain yang dibuat. Awalnya pagar yang dibuat untuk keamanan malah jadi membatasi interaksi manusia dan sungai itu sendiri, faktanya warga kehilangan tempat untuk memasang meriam karbit yang merupakan tradisi dan festival tahunan di Sungai Kapuas sehingga warga nekat untuk memotong pagar yang telah dibangun. Selain itu pagar memiliki fungsi lain, menjadi tempat bermain anak-anak seperti memasang hammock yang dibuat dari sarung, pagar digunakan untuk bergelantungan dan duduk-duduk hingga pagar di jadikan sebagai tempat untuk landasan sebelum melompat ke sungai.
Permasalahan lain pun muncul terkait sungai yang diturap, beberapa warga sulit untuk memarkir sampannya di tepian sungai dan khawatir terhadap keamanan sampan itu sendiri, karena pada beberapa lokasi tidak ada ruang parkir sampan yang disediakan dan sampan tidak dapat masuk hingga ke aliran sungai di depan rumah. Selain itu warga juga mengeluhkan turap yang pada awalnya digunakan untuk mengantisipasi sampah yang masuk ke sungai akibat pasang surut air, saat ini malah membuat sungai semakin bau karena sampah tetap saja ada dan terperangkap di dalamnya. Ruang kosong Di sela-sela antara gertak lama dan promenade yang baru masih tetap dibuat warga untuk bertifitas di sungai seperti mandi dan mencuci, dengan membangun tangga lama yang semula dirobohkan.
Promenade beton berpagar yang menutupi hampir seluruh bangunan dan akan diisi dengan taman dan air mancur pun bisa saja pada akhirnya menjadi wajah tepian sungai pontianak. "Cantik" memang, namun pertanyaannya, apakah wajah tepian sungai kelak akan berupa taman dan air mancur? Bagaimana akhirnya cara mengenali ciri khas dari waterfront Pontianak?
Pembangunan yang bukan sekedar Cantik
Pembangunan waterfront city sudah seharusnya keluar dari segi estetik saja, mulai berpikir untuk benar-benar bisa mempengaruhi masyarakat di Kota Pontianak dan bagaimana dapat mengakomodir potensi dan citra kota dengan baik. Salah satu kasusnya terkait transformasi gertak sebagai salah satu bagian yang khas dari tepian sungai kapuas menjadi promenade beton. Menjadi pertanyaan, apakah kedepannya, sebutan gertak masih dapat disematkan pada jalan beton yang baru ?
Sedikit menelaah tentang kota tepian sungai yang dalam bahasa inggris nya waterfront city, secara harfiah adalah kb. 1 tepi laut. 2 bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan. w. activities kegiatan-kegiatan di pelabuhan. Echlols (2003) dalam Munandar (2013) menyebutkan waterfront city adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Breen dan rigby (1994) menjelaskan bahwa urban waterfront merupakan area yang dinamis pada sebuah kota dimana terjadi pertemuan anatara air dan daratan, aktivitas yang terjadi dapat berbeda antara satu tempat dengan yang lain. Carr (1992) menyebutkan waterfront city adalah area yang dibatasi oleh air dan komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia dan nilai alami.
Secara teoritis waterfront dibagi menjadi delapan tipe (Breen dan Rigby, 1994), yaitu:
1. The Cultural Waterfront, yaitu waterfront yang memiliki unsur kesenian maupun budaya.
2. The Environmental Waterfront, yaitu Waterfront yang berfungsi sebagai area preservasi lingkungan atau menstabilisasi lingkungan pantai.
3. The Historic Waterfront, sebagai tempat Preservasi bahari, adaptasi ulang dengan lingkungan, preservasi mercu suar merupakan bagian dari pengembangan ini.
4. The Mix-used Waterfront, Merupakan proyek waterfront dengan gabungan instalasi seperti perumahan, retail, kantor, restoran, pasar dan tempat budaya. Biasanya terdapat bangunan seperti aquarium, bangunan kesenian dan air mancur.
5. The Recreational Waterfront – Area waterfront yang terdapat instalasi taman, pedestrian dan fasilitas wisata bahari.
6. The Residential Waterfront – Waterfront yang dimanfaatkan sebagai area permukiman atau resort.
7. Waterfront Plans – Waterfront yang didesain untuk mewadahi sebuah aktifitas.
8. The Working Waterfronts – Area waterfront dengan instalasi komersil seperti pemancingan, perbaikan kapal, dan segala kebutuhan-kebutuhan pelabuhan.
Dalam teori tersebut menjelaskan sebuah kota yang memiliki konsep waterfront sewajarnya memiliki area yang berbatasan langsung dengan badan air, bukan hanya batas secara fisik melainkan juga kedekatan antara manusia dan badan air itu sendiri. Sehingga perlu kajian lebih dalam ketika merencanakan waterfront agar kota tepian sungai tidak tidak hanya fungsional tapi juga tidak kehilangan karakter dan citra kotanya, kehilangan respon dan partisipatif publik, kehilangan ekpresi tepi air, serta dapat menjadi wadah aktivitas masyarakat kota.
“Identitas adalah sejauh mana seseorang bisa mengenali atau mengingat suatu tempat yang berbeda dari tempat lain sebagai tempat yang hidup, atau unik, atau setidaknya tertentu, dengan karakter sendiri" (Lynch, Good City Form, 1984).
..........................................
(Bersambung)
Referensi:
Ani, R. 2015. Mendamba Sungai Kapuas Menjadi Sungai Rhone. Retrieved from: https://www.dakwatuna.com/2015/10/22/76144/mendamba-sungai-kapuas-menjelma- menjadi-sungai-rhone/#axzz5TV214zc9
Bronson, Benner. 1977. Exchange at The Upstream and Downstream Ends: Notes Toward a Functional Model of The Coastal State in Southest Asias. Michigan Papers on South and Southeast Asia. The University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies. United States, hlm: 42-43.
Hermawan, M., B. 2015. Permukiman Kawasan Tepian Sungai Siak Kota Pekanbaru Ditinjau dari Aspek Ekologi. Jurnal Arsitektur Melayu dan Lingkungan. 2 (1), hlm: 35-50. Retrieved from : https://www.neliti.com/publications/74156/permukiman-kawasan-tepian- sungai-siak-kota-pekanbaru-ditinjau-dari-aspek-ekologi
http://thetanjungpuratimes.com/2016/02/03/blh-pontianak-air-sungai-kapuas-masih-aman/
http://bappeda.pontianakkota.go.id/berita-37-fgd-penyusunan-rencana-kerja-strategis- pembangunan-kota-baru-bangun-waterfront-sungai-kapuas-sebagai.html
https://pontianakheritage.wordpress.com/2015/05/11/geretak-jembatan-kayu-di-atas-parit-dan- di-tepian-sungai-kapuas-kecil/
http://pontinesia.com/komunitas/gerakan-senyum-kapuas-pontianak
https://www.republika.co.id/berita/trendtek/bina-sarana-informatika/16/03/17/o46ap5374- mahasiswa-bsi-pelopor-gerakan-senyum-kapuas
https://www.kompasiana.com/jumariharyadi/566d0231c323bdfc0625e353/mungkinkah-sungai- di-indonesia-bisa-seindah-sungai-di-luar-negeri?page=all
Lynch, K. 1960. The Image of the City. Crambidge.MIT Press.
Lynch, K. 1984. Good City Form. Crambidge.MIT Press. hlm: 131.
Munandar, M., W., A.2013. Evaluasi Konsep Design Banten Waterfront City, Kecamatan Kasemen. Jurnal Planesa. 4 (2), hlm: 63-68.
[1] Dendritik adalah sistem permukiman yang memanfaatkan perdagangaan dari hulu ke hilir. Pusat perdagangaan berada pada bagian hilir dan komoditi diperoleh dari komunitas permukiman di pedalaman (Bronson, Benner. 1977. Exchange at The Upstream and Downstream Ends: Notes Toward a Functional Model of The Coastal State in Southest Asias. Michigan Papers on South and Southeast Asia. The University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies. United States, p: 42-43).
Comments