top of page
Search

Implementasi Konsep Swadaya Pada Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS)

Writer: Andina SyafrinaAndina Syafrina

Tulisan ini merupakan kajian singkat tentang implementasi program BSPS. Kajian ini dilakukan pada tahun 2018.


Program rumah swadaya merupakan bagian dari program sejuta rumah untuk mengatasi backlog perumahan. Program rumah swadaya ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu pembangunan rumah baru dan peningkatan kualitas rumah tak layak huni (RTLH). Mekanisme yang dilakukan melalui bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar mampu meningkatkan kualitas rumah secara swadaya. Tulisan ini bertujuan untuk melihat apakah dalam implemetasinya bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) sudah tepat sasaran dari segi konsep dasar swadaya.

Implemetasi atau pelaksanaan program adalah upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Priadi, 2018). Melalui proses implementasi dapat diketahui apakah program yang disusun mampu menanggulangi persoalan yang ada di masyarakat atau tidak (Wardani, 2010). . Kajian ini dilakukan melalui studi literatur secara kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari literatur berupa artikel ilmiah (jurnal, prosiding), dokumen instansi maupun artikel web. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode deskriptif.

Secara singkat hasil kajian menunjukkan implementasi bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) tidak secara murni menjalankan konsep swadaya dikarenakan (1) tidak adanya keberkelanjutan pasca proyek dan tidak terbentuknya kelompok masyarakat yang mandiri dan berdaya (2) peran pemerintah masih dominan dalam proyek rumah swadaya; dan (3) pelaksanaan proyek yang masih bersifat individu.


Pendahuluan

Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan pula penambahan jumlah kebutuhan rumah. Namun data dari pusat pengelolaan dana pembiayaan perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat menunjukkan bahwa saat ini di Indonesia masih terjadi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan (backlog perumahan). Pada tahun 2015 jumlah backlog perumahan dari segi kuantitas mencapai 11,46 juta unit dan diperkirakan akan bertambah mencapai angka 30 juta unit pada tahun 2025 akibat bonus demografi. Sehingga idealnya pemerintah harus memenuhi 1,8 juta unit rumah per tahun, namun saat ini hanya 400.000 unit per tahun yang dapat disediakan pemerintah maupun pengembang (Ananta, 2017). Ketidakmampuan pemerintah tersebut juga disebabkan rendahnya kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk menjangkau harga rumah yang disediakan oleh pemerintah maupun pengembang melalui mekanisme pasar formal.


Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan rumahnya (secara swadaya) meskipun dengan keterbatasan dalam segi ekonomi dan fisik (Lexsatyaji, 2010; Mjaniatan, 2008). Menurut Prof. Johan Silas, kontribusi perumahan swadaya dapat mencapai angka 80-90% selebihnya 10-20% dibangun oleh lembaga formal seperti pemerintah dan pengembang (Mjaniatan, 2008).


Melihat kondisi diatas pemerintah berupaya mendukung penyediaan perumahan swadaya melalui konsep rumah swadaya. Konsep rumah swadaya merupakan bagian dari Program Nasional Sejuta Rumah yang dicanangkan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).


Namun hingga saat ini konsep rumah swadaya tidaklah mudah untuk dijalani. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kendala yang dihadapi seperti keberlanjutan pasca proyek rumah swadaya itu sendiri sehingga terjadi kecenderungan kemunduran kualitas lingkungan maupun rumah yang dibangun secara swadaya (Mjaniatan, 2008; Priadi, 2018). Konsep rumah swadaya menjadi kabur karena belum dapat membentuk pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat yang mandiri. Skema saat ini masih merujuk kepada individu bukan kelompok (Siregar dalam Pitoko, 2016). Hal tersebut tidak sejalan dengan amanat UU Nomor 1 Tahun 2011 yang menyebutkan pengelolaan bantuan dilakukan oleh masyarakat secara swadaya untuk mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan secara berkelanjutan.


Pembahasan

Perumahan swadaya memiliki sejarah panjang yang telah dipraktekkan pada awal tahun 1900 jauh sebelum perencanaan kota diperkenalkan. Dalam perumahan swadaya dikenal istilah rumah oleh rakyat (housing by people) dan rumah adalah kata kerja (housing is a verb). Istilah tersebut menjelaskan tentang rumah sebagai proses, selalu berkembang dan adanya peran aktif masyarakat di dalam proses (Harris, 2003) mulai dari pengambil keputusan pada tahapan perencanaan, desain, pengelolaan hingga pengawasan selama proyek berlangsung (Ntema, 2011).


Peran pemerintah maupun pemangku kepentingan dalam perumahan swadaya juga penting, namun bukan untuk mendikte keseluruhan proses pembangunan rumah, melainkan lebih kepada melindungi dan menyediakan sumber daya yang sulit diperoleh seperti memperbaiki layanan dasar yang akan mendorong tersedianya rumah, seperti: lahan, regulasi, peralatan, kredit, know-how, dan land tenure (Mungkasa, nd).


Ntema (2011) menjelaskan terdapat tiga bentuk perumahan swadaya, yaitu:

  1. Swadaya mandiri (laissez-faire self help), bentuk swadaya tanpa adanya campur tangan pemerintah. Dalam beberapa kasus, bentuk ini juga dapat memperoleh bantuan dari pemerintah tetapi penduduk tetap memegang kendali penuh terhadap keputusan pelaksanaan pembangunan.

  2. Swadaya berbantuan pemerintah (state-aided self help), bentuk swadaya dengan skema penyediaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) oleh pemerintah, dan tanggung jawab pembangunan rumah oleh masayarakat atau pemilik rumah.

  3. Swadaya terlembaga (institutionalized self help), bentuk swadaya dengan campur tangan pemerintah melalui lembaga perumahan atau institusi berbasis masyarakat seperti koperasi atau kelompok swadaya.

Konsep perumahan swadaya telah diterapkan hampir diseluruh negara berkembang sebagai alternatif penyediaan perumahan. Termasuk pula di Indonesia. Konsep rumah swadaya muncul sebagai alternatif mengatasi backlog perumahan bagi MBR. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan bahwa Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat baik secara mandiri maupun berkelompok. Peran pemerintah adalah menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan untuk memperoleh rumah yang layak huni, sedangkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan rumah termasuk perbaikan, pemulihan, pembangunan rumah baru dan lingkungan (Priadi, 2018). Standar layak huni yang harus dipenuhi suatu bangunan rumah meliputi persyaratan kecukupan luas, kualitas bangunan rumah dan kesehatan (Rembet, 2018).


Pemerintah kemudian membagi konsep rumah swadaya ini ke dalam dua kategori yakni pembangunan rumah baru dan peningkatan kualitas rumah tak layak huni (RTLH) melalui mekanisme Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang ditujukan untuk MBR (Pitoko, 2016). Adapun jenis kegiatan BSPS terdiri dari: Pembangunan Baru (PB), Peningkatan Kualitas (PK), dan Pembangunan Prasarana dan Sarana Umum. Penerima BSPS dapat berupa perseorangan maupun kelompok dengan bentuk bantuan dapat berupa uang atau barang (Gunantoro, 2016).


Namun dalam pelaksanaannya konsep BSPS ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang implementasi BSPS dengan menggunakan teori dari Van Metter dan Van Horn (Tabel. 1).


Tabel. Implementasi BSPS

Dari tabel terkait implementasi BSPS dapat dilihat bahwa konsep BSPS belum sepenuhnya berjalan dengan baik, diantaranya:

  • Bantuan pemerintah ini hanya sukses selama proyek dilaksanakan, tetapi pembinaan pasca proyek umumnya tidak berkelanjutan sehingga masyarakat akhirnya belum mampu mandiri (Mjaniatan, 2008; Priadi, 2018; Rembet, 2018; Sinaga, 2017; Zulkarnain, 2017). Waktu yang cenderung singkat dalam proyek BSPS menyebabkan tujuan utama dari konsep swadaya itu tidak tercapai. Sistem swadaya tidak berjalan baik karena pemerintah hanya memberikan bantuan dan pendampingan untuk menyelesaikan masalah fisik dan kuantitas jumlah rumah, sedangkan pemberdayaan komunitas tidak berjalan baik.

  • Pada praktik di lapangan ketika bantuan sudah sampai kepada warga, pelaksanaan proyek masih bersifat individu. karena dari segi penerima dana BSPS dapat berupa perseorangan atau kelompok. Hal ini tidak sejalan dengan konsep dasar rumah swadaya. Penulis menduga kerjasama di dalam kelompok belum dapat tercapai dikarenakan pembentukan kelompok yang bersifat temporer ketika akan mengajukan bantuan, sehingga rasa tanggung jawab bersama dan komitmen dalam pengelolaan dana tidak berjalan dengan baik, bahkan akan mungkin ada kecenderungan kelompok tersebut bubar setelah bantuan tersalurkan, sehingga tidak tercapai pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat yang mandiri dan berkelanjutan.

  • Bantuan yang diterima tidak tepat sasaran, serta di beberapa tempat sistem rekruitmen calon penerima bantuan tidak transparan. Tidak tepat sasaran dikarenakan masih bias segmen MBR yang dituju. Selain itu adanya persyaratan memiliki tabungan juga memberatkan MBR yang dominannya adalah kelompok non-bankable.

  • Minim kualitas maupun kuantitas Sumber Daya Manusia, baik dari masyarakat penerima bantuan maupun fasilitator yang mendampingi masyarakat. Karena pada dasarnya BSPS merupakan stimulus teknis perumahan swadaya yang membutuhkan pendampingan dan bukan kegiatan charity yang lebih bersifat bantuan sosial seperti yang dijalankan saat ini. Untuk itu program perumahan swadaya sangat perlu mendapatkan inspeksi dan audit secara serius dari berbagai lembaga pengawas terkait (Mungkasa, 2013). Disamping itu pendamping (fasilitator) menjadi penting karena meskipun dalam konsep swadaya terdapat kontribusi tenaga (sweat equity) dari ide kendali masyarakat. Namun kontribusi tenaga tidak secara otomatis disamakan dengan membangun sendiri sebagaimana yang terjadi saat ini. Untuk itu perlu adanya pendampingan maupun penguatan secara komunitas dalam hal pengelolaan bantuan (Mungkasa, nd; Turner, 1976).

Dari segi bentuk perumahan swadaya yang dilakukan pemerintah di Indonesia, praktik BSPS merupakan skema swadaya terlembaga. Masih ada campur tangan pemerintah dalam mendikte persyaratan pada masyarakat yang mampu melaksanakan pembangunan rumahnya. Dibutuhkan perubahan peran pemerintah dalam proses penyediaan rumah bagi MBR.


Mengutip dari buku Sinaga (2017) bahwa perumahan swadaya jika dijalankan dengan benar maka dapat memberikan tiga manfaat sekaligus, yaitu manfaat ekonomis, politis dan psikologis. Secara ekonomis, melalui pembangunan rumah menggunakan skema swadaya maka sejumlah uang kembali pada pemilik rumah/ masyarakat setempat. Bagi warga yang berpenghasilan rendah, pengerjaan rumah secara swadaya sudah merupakan penguatan ekonomi karena kesempatan yang biasanya sulit didaptakan.

Secara psikologis, peran aktif masyarakat dalam proses pengambil keputusan pada tahapan perencanaan, desain, pengelolaan dan pengawasan selama proyek berlangsung dapat membuat warga lebih percaya diri atas kemampuan dirinya karena berhasil membangun rumah sendiri. Sikap ini menjadi penting untuk bebas dari masalah kemiskinan karena salah satu musuh dari kemiskinan adalah perasaan gagal, apatis, dan tidak percaya diri.

Secara politis, warga lebih percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya dalam persoalan yang warga hadapi, dikarenakan pengalaman terlibat dalam proses-proses pembangunan, tenaga mereka dihargai secara ekonomis serta adanya penilaian bahwa mereka dianggap penting. Ketiga manfaat tersebut membuat warga lebih berdaya secara kolektif.


Kesimpulan

Implemetasi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tidak secara murni menjalankan konsep swadaya dikarenakan (1) Bantuan ini hanya sukses selama proyek dilaksanakan, tetapi pembinaan pasca proyek umumnya tidak berkelanjutan dan tidak terbentuknya kelompok masyarakat yang mandiri dan berdaya karena masyarakat menjadi tergantung dengan dana yang diberikan tanpa ada inisiatif lain untuk lebih meningkatkan kualitas rumahnya; (2) Peran pemerintah masih dominan dalam proyek rumah swadaya; (3) Pelaksanaan proyek yang masih bersifat individu.

Berdasarkan kendala yang terjadi pada praktik BSPS saat ini, maka dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk mempelajari berbagai rekomendasi solusi untuk mengatasi permasalahan rumah swadaya di Indonesia.


Referensi

  • Ananta, Hijrah. 2017. Rekomendasi Solusi Mengatasi Permasalahan Backlog Perumahan Di Indonesia. Chief Finance Officer (CFO) YOURBAN. Retrieved from:https://www.academia.edu/35532122/Rekomendasi_Solusi_Mengatasi_Permasalahan_Backlog_Perumahan_di_Indonesia.

  • Gunantoro, Yunika, P. 2016. Panduan Teknik Mekanisme Pelaksanaan BPPS 2016. Retrieved from: https://www.scribd.com/doc/315025954/2-Panduan-Teknis-Mekanisme-Pelaksanan-Bsps-2016-bentuk-Uang#.

  • Harris, Richard. 2003. A Double Irony: The Originality and Influence of John F.C. Turner. Habitat International, 27 (2), 245-269.

  • Isabella., Sesar, Julio., Amaliatulwalidain. 2017. Evaluasi Program Bantuan Stimulasi Perumahan Swadaya (Desa Rejo Mulyo, Kecamatan Way Serdang Tahun 2014). Jurnal Pemerintahan dan Politik, 2 (1), 40-44.

  • Kemetrian PUPR. 2016. Kebijakan Pelaksanaan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Direktorat Rumah Swadaya. Retrieved from: https://slideplayer.info/slide/12196813/.

  • Lexsatyaji, Anggo, R. 2010. Karakteristik Rumah Swadaya Ditinjau dari Pola Produksi Rumah di Kota Semarang. Tugas Akhir. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

  • Mjaniatan. 2008. Metode Pembangunan Perumahan Partisipatif. Retrieved from: http://mjaniatan.staff.uns.ac.id/2008/11/10/permasalahan-perumahan/.

  • Mungkasa, Oswar. 2013. Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013. LP-P3I. 1-16. Retrieved from: https://www.scribd.com/document/120289940/Evaluasi-Pembangunan-Perumahan-Rakyat-Tahun-2012-dan-Rekomendasi-Tahun-2013.

  • Mungkasa, Oswar. nd. Perumahan Swadaya: Konsep, Pembelajaran dan Praktek Unggulan. Retrieved from:https://www.academia.edu/2641557/PERUMAHAN_SWADAYA_KONSEP_PEMBELAJARAN_DAN_PRAKTEK_UNGGULAN.

  • Ntema, Lejone John. 2011. Self Help Housing in South Africa: Paradigms, Policy and Practice. Disertasi. Faculty of The Econodmic and Management sciences, University of The Free State, Afrika Selatan.

  • Pitoko, Ridwan, A. 2016. Menilik Skema Ideal dan Manfaat Bantuan Perumahan Swadaya. Retrieved from:https://properti.kompas.com/read/2016/10/11/070000421/menilik.skema.ideal.dan.manfaat.bantuan.perumahan.swadaya.

  • Priadi, Ashifa, R. 2018. Implementasi Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dalam Penyediaan Rumah Layak Huni di Kabupaten Langkat. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara. Medan.

  • Putri, Devvy. 2018. Efektifitas Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) Dalam Upaya Mewujudkan Community Governance di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Kota Surabaya. Kebijakan dan Manajemen Publik, 6 (3), 1-9.

  • Rembet, Meyer I, dkk. 2018. Implementasi Kebijakan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya di Kabupaten Minahasa selatan. Jurnal Administrasi Publik, 4 (54).

  • Sinaga, Marsen. 2017. Belajar Bersama Arkom Jogja: Pengorganisasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai. Yogyakarta: INSISTPress.

  • Turner, John, F,C. 1977. Housing by People: Towards Anatomy in Building Environment 1st American ed. New York: Pantheon Books.

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

  • Wardani, Fatmawati, H, K. 2010. Tingkat Keberhasilan Implementasi Program Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya dan Peningkatan Kualitas Perumahan. Tugas Akhir. Jurusan Arsitektur. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.Zulkarnain. 2017. Implementasi Kebijakan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya di Kecamatan Parigi Selatan. Asian Journal of Environment, History and Heritage, 1 (1), 179-188.


 
 
 

Kommentare


©2019 by Marakata. Proudly created with Wix.com

bottom of page